23.11.10

Menot

Di temani bising putaran detik ku berlalu
tercoret huruf-huruf diatas kertas putih bertintakan hitam
melebur menjadi satu bersama pengalaman hidupku
seakan bercerita tanpa ada yg menyangga
terus berlanjut terikut detik terus berlalu
tak ada ku dengar hingar-bingar kebisingan lain
seolah hanya nafasku saja yang terus berhembus di sini
tak ada sambutan dari makhluk kecil sekalipun
serasa kota mati yg hanya didomisili oleh satu orang saja..aku
nafasku menghela panjang
sejenak memikirkan yg terjadi
selalu inikah hiasan setiap waktuku
berjalan tanpa ada iringan yang berarti
kemama kalian wahai makhluk
jeritan kalbuku mengguncang
kebodohan seolah-olah selalu mengintai
meneropongi jejakku tanpa lepas pandang
mengontrol di setiap hela nafas berhembus
tertawa sambil menatap kebodohan disudut ruang ini
mengamati sambil mengukur betapa malangny jejak langkahku

Lakon

Aku merasa tertipu dengan apa yang terjadi
Terhempas oleh putaran detik yang slalu berputar
Tersungkur di balik semua topeng kemunafikan
Terjebak dalam satu skenario yang cruenya patut di acungi jempol ( setan!! )
Dengan lakon yanng hampir semua ending ceritannya sama
Tokoh seakan sama peran,namun berbeda orangnya
Tak ada yang mampu membedakan protagonis dan antagonis
Semuanya tersamar,tak ada yang dapat membedakannya ku rasa
Tapi tetap,peran utamanya adalah aku
Yang aku tak pernah tahu,apa peranku
Seperti tlah di takdirkan untukku melakoninya
Suatu peran yang teramat menjijikan bila terus berlanjut
Bergelut pada semua kemunafikan
Bergumul pada watak yang sejenis
Kurasa itu seperti suatu otak yang di rancang khusus,untuk menjilat habis perasaan
Membuatnya bertekuk lutut,tanpa ada prasangka yang tak baik
Yang di kira itu baik,malah dasyat menyakitkan
Lebih sadis dari goresan tajam sang lancip,yang hanya dapat menyakitkan satu sisi saja
Sungguh tak pernah ku perhitungkan,dan mungkin tak dapat ku hindari
Karna mereka..yang telah ku anggap

Hanya Ucap Maaf

Apa yang menjadi harapan ketika mata telah terpejam?..
Ketika nafas tak lagi terasa ada?..
Dan,ketika roh hilang jejak untuk kembali bersatu dengan raga?..
*maaf dariku.

Pesan Tanda Benci Kepada Mr.Suhe'

Massage ke-1

8/10


Telah lama aku disini, mempertahankan bulan sabit d wajahku.
ingin pun hujan turun,aku tolak,seperti aku penguasanya.
Selalu berusaha membuat kebahagiaan bagi siapapun yg menatapku.
Sampai malam ini,aku tunduk dgn petir yg tiba-tiba dtang.
Mengundang hujan turun,meski tak secepat petir.


Massage ke-2

8/10


Biarkan hujan malam ini.
Dan,biarkan dia membasuh tubuhku hingga tergeletak.
Hingga,aku menang dalam ketidak berdayaan karnanya.
*lelah.


Massage ke-3

8/10


Tetap menunggu di ujung barat.
Menanti sang surya terbenam dan menyambut tirai hitam datang menyapa.
Dan,tak ingin malam ini cepat terganti.
Sebab,aku ingin menghapus dirimu yang tadi hadir membiusku.
*real,you?!


Massage ke-4

8/10


Dua globe ini selalu menjadi kompas bagiku.

Saat ini,arahnya bahkan menunjuk ke sisi utara di hadapanku.

Berdiam diri,melihat sosokmu di penghujung jarum itu.

Si mata jumanji.

Pemilik bibir pisau,yg selalu tampak gagah dgn sol tebal di alas kakinya.

Lalu,aku berusaha lari.

Secepat mungkin,utk mencari kehidupan lumut di sisi pohon.

Menemukannya.

Bersembunyi...


#Bukan sosok menakutkan layaknya makhluk tetangga. Namun, cukup membuatku mengerutkan dahi. Dialah, Mr. Suhe'.

22.11.10

Untukmu,Tuan.

Dia, bukan seseorang yang memainkan rebana di hatiku. Tapi, dia membuatku berubah menjadi seorang detektif semalam mengalahkan pandangan pada pemain rebana.

Selalu dari timur dan berakhir di barat. Yah, itulah kehidupan dari sang surya. Dan, aku, disini juga mengandalkan kehidupan itu. Berusaha untuk bersahabat dengan waktu dan langit seperti saat aku menunggu dia. Dekapan lembut menggelitik dari yang tak berwarna ku dapati. Tenda hitam juga tampak telah membentang luas sejauh mataku memandang ke atas. Waktu terlihat sudah lapuk, sangat tua diujung dua empat jika ku kata. Serta, lampu penerang jagad raya yang sudah mulai redup. Aku, masih disini, setia menanti.

Kesalahan ku yang lalu membuat situasi menjadi hening. Antara aku dan dia. Bukan siapa-siapa memang. Tapi, karena sikap idealis gila yang menyemat pada diriku, semua bisa terjadi. Inisiatif baiknya tidak ku sambut dengan senyum membara seperti bulan sabit yang menjadi andalan jika hatiku senang. Namun, sebaliknya. Tidak ada bulan sabit, bulan untuh, atau apapun di waktu angin segar menyapaku. Benar sangat buram, abu-abu, apalah itu.

Pagi ketika itu, aku berjumpa dengannya. Sungguh di luar dugaan akan respon yang dia lontarkan. Menyeramkan, jika bisa ku ucapkan. Membuatku takut dan semakin mengunci mulutku erat. Bukan tidak mau mengucap kata, tapi, memang sangat membuatku tidak mampu berkata. Bukan juga lebai atau apa, karena memang aku merasa ada yang aneh dengan dia pagi itu. Hujan pun datang, seperti yang lalu. Aku heran. Kenapa di setiap sedih itu ada, hujan selalu menghampiriku? Suatu kebetulankah? Entahlah.

Kembali ketika aku menunggu dirinya. Massage yang aku kirim, dibalasnya angkuh. Persepsi dari ku sendiri memang. Tapi, mungkin juga iya mengacuh pada sikap yang aku beri padanya. Hanya ingin menyelesaikan masalah dan lagi berteman normal seperti keinginan dia. Tapi, sampan ini berjalan melawan arus sepertinya dan sulit di taklukan. Lima jam waktu sedikit ketimbang yang dia punya kemaren, namun, aku sudah mematoknya sampai ke akhir hari ini. Setelah itu, selamat tinggal dan terimakasih. Lagi, tidak punya sedikit atau banyak waktu yang dapat diberi percuma padaku. Benar berakhir dan detektif semalam pun punah. Tidak ada memantau sekitar, meraba kehadiran, dan apa pun itu pekerjaan detektif. Berulang mengucap terimakasih, meski masih berutang diskusi dan bumi manusia. Tapi, sudahlah. Bulan sabit terakhir akan ku beri percuma untukmu suatu saat nanti.

9.11.10

Mati

Bumi pertiwi telah letih

Tersungkur dibalik selendang putih

Dendam kini sedang menanti

Karena semua perlahan mati

Tersapu debu nafas lenyap

Menggerogot kayu seperti rayap

Bermandi hangat bau menyengat

Terlentang tubuh menjadi mayat

Lagi

Singgah

Musnah

Tak terendus ada nyawa disini

Semua enyah tanpa pamit lalu mati

Beriringan tanpa henti lagi nanti

Tangis, teriak, menjadi saksi

Nyawa merangkak

Jasad tergeletak

Mulut berontak

Mengecam beranak pinak

Sembunyi ucap cinta diantara

Menghilang mengguncang tanah Indonesia

Kosong singgah

Kosong musnah

Lagi

Singgah, kosong, juga musanah

8.11.10

Kertas Pengharapan

Kaku tanganku tak bisa menggenggam
Kaku tubuhku tak bisa membungkuk
Kaku mataku tak bisa terpejam
Kaku bibirku tak bisa teriak

Mereka membisu
Tak bergerak tak mampu
Di hadapanku

Satu hari semuanya pergi
Tak ada sisa semangat lagi
Keluarga pun hilang
Teman pun hilang
Harta pun hilang
Sisa aku seorang

Ku mengharap satu kertas datang
Bertuliskan kata pengharapan
Ku ingin semua kembali pulang
Berkumpul di hadapan

Untuk (Kau) Lelaki

Kau gores dengan pena pelangi
Melukis indah di atasnya dan kau nikmati
Kau anggap ini seni
Tubuh telanjang seperti kau kencinggi